Posted by : Sara Amijaya Tuesday 1 July 2014

Sungguh membuat terkejut, ketika seorang kawan tiba-tiba berpamitan beberapa waktu lalu. Ia terpaksa memutuskan kembali ke Jawa, tanah kelahirannya. 
Apa pasal? 
Ternyata, Kalimantan Timur yang sebagian besarnya merupakan daerah industri menyebabkan polutan dan persediaan airnya pun mengandung zat besi tinggi. Kondisi ini disinyalir memperburuk kondisi anaknya yang menderita autis.

Jujur saja, sebagai orang yang lahir, dan tumbuh besar di Kalimantan saya sendiri terkaget-kaget ketika menengarai fakta tersebut. Sewaktu kecil, saya terbiasa melihat jernihnya aliran sungai-sungai kecil di sekitar pemukiman yang masih rimbun dengan hutan dan belukar. Sungai-sungai kecil yang  bermuara di sungai Kandilo dan terus lagi ke hulu  sungai Mahakam.



 Saat itu tak pernah sedikitpun terbersit di benak saya bahwa ketersediaan air layak minum di dunia hanya kurang dari 1%. Sebagaimana pernyataan seorang ahli hidrogeologis, Prof Dr. Sari Bahagiarti, “jumlah air tawar di bumi hanya  4%, dengan hanya kurang 1% air yang bisa dikonsumsi.”

Ketika mengamati betapa tercemarnya air sungai dan air tanah di daerahku, mau tak mau aku terpaksa mempercayai hasil peneitian tersebut. Jika di daerah saja kondisi air sudah sangat memprihatinkan tentunya di daerah perkotaan kondisi air tanah sudah lebih buruk lagi.

Kepindahan kawan tadi, tentu membuatku was-was dan segera mungkin mengeavaluasi penggunaan air yang dikonsumsi keluargaku. Terlebih saat ini  dengan 3 anak yang masih kecil dan rutin mengkomsumsi air putih.

Menilik Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum, dalam salah satu pasalnya disebutkan bahwa “air minum aman bagi kesehatan apabila memenuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan parameter tambahan.” [sumber]

 sewaktu aku kecil, ketimbang menggunakan air PDAM , ayahku lebih memilih membuat sumur tanah. Sumur yang kedalamannya belasan meter itu berair bersih dan jernih.

Dari informasi yang kudapat air sumur pada umumnya lebih bersih ketimbang air permukaan, karena air yang merembes ke dalam tanah telah difiltrasi oleh lapisan tanah yang dilewatinya.[sumber]. Namun, air yang bersih secara kasat mata itu tidak berarti sepenuhnya bebas dari kontaminasi bakteri. Dan lagi sayang sekali di musim kemarau, sumur tersebut terancam kekeringan.

Beberapa waktu belakangan, keluargaku pun tertarik membuat sumur bor. Katanya sumur bor ini  bisa menjadi pilihan yang tepat sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumur bor menggunakan air tanah yang masih alami, sehingga steril dari zat-zat kimia apapun. Meski mengandung sejumlah  bakteri-bakteri, hal tersebut bisa diatasi dengan merebus air sumur bor tersebut hingga mendidih. Sayangnya, tetangga yang sudah mencoba membuat sumur bor  menemukan bahwa air tanah yang didapat dari hasil sumur bor tersebut mengandung senyawa besi tinggi, warnanya merah kekuningan, baunya lebih dari bau besi karat, nyaris menyerupai bau telur busuk. Tentu masih memungkinkan digunakan dengan metode aerasi atau pun proses  penyaringan air yang sayangnya sangat tidak praktis dilakukan dalam skala rumah tangga.


Alternatif lain untuk sumber air tentu mau tak mau, suka tak suka adalah menggunakan air PDAM. Mmmm….air ini tentu sudah mahfum keluhannya tak jauh-jauh dari aroma kaporitnya yang menyengat. Setahuku dosis aman untuk penggunaan kaporit sebagai penjernih air adalah 0,2 ppm. Namun karena kondisi jaringan PDAM yang belum memadai, dan agar air PDAM bisa menjangkau tempat yang cukup jauh bisa jadi kadar kaporitnya lebih tinggi dari itu. Kadar kaporit yang tinggi bisa menyebabkan iritasi kulit dan jika dikonsumsi bisa jadi pemicu kanker [sumber].

Untuk penggunaan sehari-hari seperti memasak, mencuci, dan mandi kami harus mengendapkan air PDAM berkaporit tersebut selama beberapa hari. Untuk air minum pun kami seringnya masih mengandalkan air minum isi ulang dari depot-depot air minum. Sampai keluarga kami mendengar berita negatif tentang kualitas air isi ulang tersebut baik melalui televisi maupun hasil searching internet di berbagai blog dan web.

Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Departemen Kesehatan telah mempublikasikan hasil penelitian mereka terhadap depot-depot air minum isi ulang yang hasilnya, air minum isi ulang diketahui tercemar bakteri patogen seperti coliform, bahkan ada yang terkontaminasi logam berat kadmium. Belum lagi proses pencucian galon bekas sebelum diisi kembali diyakini juga menyumbangkan paling tidak 5% dari total bakteri yang terkandung dalam air isi ulang yang siap minum. Mutu dari air minum isi ulang itu pun diyakini hanya mampu bertahan 1X24 jam sejak air tersebut keluar dari tabung steril agen air minum isi ulang. 

Penelitian tersebut memang dilakukan pada sejumlah depot isi ulang di daerah Jawa, tapi tentu kekhawatiran saya sangat beralasan, mengingat harga air isi ulang di daerah kami juga sangat murah. Akhirnya, mau tak mau kami kembali ke cara tradisional yakni memasak air hingga mendidih untuk menjadikan air PDAM tersebut layak minum.

Namun, seiring meningkatnya konsumsi air minum dirumah, juga intensitas kesibukan yang padat. Maka proses memasak air untuk memenuhi kuota minum seluruh anggota keluarga terasa sangat memberatkan.

Adalah ibuku, yang memperkenalkan teknologi Pure it dari Unilever. Sebuah water purifier yang didesain untuk keluarga dengan teknologi canggih yang dapat menghasilkan air minum yang aman untuk dikonsumsi  dengan cara praktis tanpa menggunakan gas dan listrik.

Dari berbagai informasi di blog dan web yang bertebaran di internet saya mengetahui bahwa Pureit menggunakan teknologi canggih Perangkat Pembunuh Kuman yang memastikan perlindungan menyeluruh terhadap kuman dan virus berbahaya yang bisa menyebabkan penyakit.

Air tanah/PDAM belum dimasak yang dituangkan ke dalam PureIt akan melewati 4 tahapan pemurnian air yang unik.
·         Tahap 1: Saringan Serat Mikro , yang akan menghilangkan semua kotoran yang terlihat
·         Tahap 2: Filter Karbon Aktif, akan  menghilangkan pestisida dan parasit berbahaya
·         Tahap 3: Prosesor Pembunuh Kuman, akan menghilangkan bakteri dan virus berbahaya dalam air
·         Tahap 4: Penjernih, akan  menghasilkan air yang jernih, tidak berbau, dengan rasa yang alami
Komponen 2-3-4, dalam satu rangkaian disebut Germkill Kit, yang harus diganti setelah memurnikan 1500 liter air.
Keempat tahapan pemurni air ini ternyata sesuai dengan parameter air minum yang layak konsumsi sesuai intruksi permenkes No 492 tahun 2010:
Parameter fisik yang harus dipenuhi pada air minum yaitu harus jernih, tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
Parameter kimiawi menyebutkan bahan air minum tidak boleh mengandung partikel terlarut dalam jumlah tinggi serta logam berat ataupun zat beracun seperti senyawa hidrokarbon dan detergen.
Parameter Mikrobiologis yakni bebasnya air minum dari berbagai bakteri patogen.

Bahkan kinerja Pureit pun telah memenuhi kriteria pembunuh kuman terketat dari Environmental Protection Agency, Amerika Serikat.
 Meski menggunakan teknologi pembunuh kuman terprogram, dimana sejumlah zat pembunuh kuman yang terkontrol ditambahkan ke dalam air, teknologi ini tetap menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi karena air akan melewati bagian penjernih yang menyerap dan menghilangkan semua zat pembunuh kuman yang ada di air, dan mengembalikan air ke keadaan yang alami, jernih dan segar.

Didesain untuk memurnikan 1500 liter air atau setara dengan 80 galon air, Pureit bisa menghasilkan air layak konsumsi untuk keluarga selama 6-8 bulan sebelum harus mengganti perangkat pembunuh kuman yang baru.

Jelas teknologi pemurni air Pureit ini merupakan sebuah terobosan yang sangat membantu tersedianya air layak konsumsi di rumah-rumah dengan cara yang sangat praktis dan nyaman.

Bersama Pure it mari kita sediakan air minum yang layak dikonsumsi bagi keluarga kita!!!
==============

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -