Posted by : Sara Amijaya Friday 11 October 2013

Setiap anak, baik lelaki maupun perempuan adalah calon pemimpin, minimal pemimpin bagi diri mereka sendiri”
--------------------------------------------------------------------------------------------
“Subhanallah Ummi, Amma adalah anak yang cerdas dan berjiwa pemimpin. Tanpa malu-malu Amma maju kedepan kelas dan dengan lantang bercerita betapa Amma mengagumi sahabat Umar bin Khattab”.
  Sms yang masuk ke ponselku itu benar-benar seperti oase di tengah tumpukan berkas pekerjaanku. Sms-sms serupa kerap kuterima dari ustadzah di kelas RA Amma dulu.


Masih teringat ketika Amma yang saat itu berumur 4,5 tahun. Ia pertama kali menyatakan keinginannya untuk bersekolah. Padahal saat itu sudah masa tengah semester. Sebelumnya Amma menolak keras untuk bersekolah. Dan memang pilihan kami orangtuanya , kami hanya akan menyekolahkannya ketika ia benar-benar siap untuk bersekolah.

Dan begitulah, Abinya terpaksa berputar-putar dari satu TK ke TK lainnya yang mau menerima murid di tengah tahun ajaran. Setelah mendatangi beberapa TK dan mendapati penolakan , syukurlah sebuah TK yang cukup bonafit justru mau menerima Amma dengan tangan terbuka. Dan hari itu pula Amma langsung bersekolah. Tanpa ditemani, tanpa ditunggui. Alhamdulillah….jangan ditanya how proud my feeling is…
Amma (5 tahun) yang pulang pergi sendiri dengan bis sekolahnya

Meski masuk di tengah tahun ajaran, ternyata Amma tak ketinggalan satu hal pun. Ia cepat bergaul dan berteman baik dengan teman-teman sekelasnya. Ia aktif bertanya dan menjawab setiap hal di kelasnya. Alhamdulillah….lagi-lagi jangan ditanya how proud my feeling is….

Saat tahun ajaran selanjutnya, atas permintaan Amma sendiri aku memasukkannya ke sebuah RA berbasis alam untuk kelas tahfidz. Dengan pengajar yang selalu memberi info-info terkini tentang perkembangan Amma di sekolah membuatku semakin bangga terhadap putri sulungku tersebut. Saat ini Amma berusia 6 tahun dan bersekolah di sebuh SD Negri berbasis Islam.
Amma (6 tahun), sekolah pun tetap Syar'i


***
Punya anak yang cerdas dan berjiwa pemimpin jelas bikin bangga. Dan tentu hal tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya. Sangat dibutuhkan peran aktif orang tua yang merupakan pintu gerbang pembentukan karakter dasar mereka. Tentu bukan tugas ringan dan mudah. Karena menjadi orang tua adalah peran yang tak memiliki jalur pendidikan resmi.

Kebanyakan orang tua hanya memiliki bekal pengalaman sebagai anak yang dulunya dididik oleh orang tuanya, sehingga kemudian mengasuh anak-anaknya dengan pola pendidikan “warisan” tersebut. Seharusnya, kita memperlakukan anak-anak  sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang tua kita dulu.

Sebagai orang tua kita harus mampu mendeteksi kebutuhan anak dan memfasilitasinya, bukan malah membatasi gerak dan perkembangan anak dengan berbagai larangan dan pantangan. [1]

Belajar dari pengalaman pribadi maupun orang lain, serta hasil berbagi kisah dengan para orang tua lainnya. Aku menyaring beberapa hal penting yang akhirnya kuterapkan dalam pendidikan putra putriku.

Parent by example. Anak akan melihat perilaku kesaharian orang tuanya dan kemudian menduplikasinya. Maka sepantasnya kita wajib menjaga konsistensi dalam segala hal. Jika kita meminta anak untuk belajar maka tentu bukan hal sepantasnya jika kita kemudian malah asyik menonton TV. Kita bisa mendampinginya belajar, membaca buku atau melaksanakan kegiatan serupa. Begitu pula jika kita berteriak-teriak menyuruh anak untuk sholat atau mengaji sementara kita sendiri belum sholat dan jarang mengaji maka jangan harap si anak akan menurutinya.

Berhentilah memperlakukan anak-anak kita sebagai “anak-anak”.  Mereka adalah manusia kecil yang seharusnya sudah mulai diperkenalkan pada persoalan-persoalan kehidupan. Jangan mudah membantu anak-anak untuk hal-hal yang sebenarnya bisa mereka lakukan sendiri. Makan, minum, membereskan mainan, dll. Dengan selalu mengintervensi berbagai hal dalam kehidupan si anak secara tidak sadar kita membuat anak-anak mengalami ketergantungan terhadap pertolongan kita, yang kelak justru membentuk sikap mental yang tidak menunjang karakter pejuang dalam hidup mereka.

Bersikap bijak sebagai orang tua adalah penting. Kapan kita perlu membiarkan anak dan kapan waktu yang tepat kita harus mendampinginya.

Mulailah mengubah sudut pandang dengan berusaha menyelami apa yang anak-anak kita rasakan dan alami di jaman mereka ini [2]. Anak-anak sekarang punya cara hidup dan kondisi yang sudah jauh berbeda dengan cara hidup dan kondisi di waktu kecil kita. Perubahan jaman, kemajuan teknologi, perubahan lingkungan mempengaruhi itu semua. Maka menjadi tidak logis jika kita memaksa mereka bersikap dan bertindak seperti sikap dan tindak tanduk kita sewaktu kecil.

Hal terpenting dalam pembentukan karakter seorang anak adalah Agama. Karenanya menjadi sebuah keharusan bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai agama sedari dini. Karena dengan filter inilah anak-anak bisa tetap tumbuh tanpa terseret arus negatif yang banyak ditawarkan perkembangan jaman.

Terkait sebagai calon pemimpin, perlu juga membekali anak-anak kita dengan berbagai macam keterampilan hidup. Yang meliputi:
 Keterampilan kognitif: agar anak memiliki prilaku intelijen, yaitu mengerjakan sesuatu dengan mudah, cepat dan tepat. 
Keterampilan Emosional: agar anak terampil mengelola emosi diri dan dapat mampu memberi respon yang tepat terhadap emosi orang lain.
Keterampilan social: agar anak menerima dan merasa nyaman akan dirinya sendiri, dan terampil berperilaku pro-sosial.
Keterampilan umum: anak terampil menolong diri sendiri, anak belajar disiplin dan menghargai milik sendiri, anak terampil membangun motivasi diri, anak mengenal berbagai ragam profesi kerja, serta mengenal aspek kepemimpinan.

Semua pembelajaran keterampilan tersebut bisa dilakukan sambil bermain dengan beragam permainan sederhana. Sebagai contoh saya biasa memainkan permainan “Aku itu unik”. 

Permainan ini sangat mudah bisa dilakukan kapan saja atau ketika bercermin di pagi atau sore hari. Sambil merangkul atau memangku anak di depan cermin kita bisa membangun dialog dengan anak.
“Yuk kita  bandingkan, Amma mirip umi gak ya???”
“Apa ya kesamaan kita?”
“Apa ya perbedaan kita?”
“Coba kita sama-sama senyum/cemberut/nyengir/dll !”

Dengan dialog-dialog seperti itu kita membantu anak untuk menemukan ke-khas-an anak dan membantu anak untuk merasa nyaman dan bangga terhadap dirinya sendiri.

Dilain waktu saya sering membuat beberapa gulungan benang kusut (dari benang wol) yang dibuat dengan beberapa tingkat kesulitan. Dan kemudian berlomba dengan anak untuk menguraikan benang tersebut. Bisa diselingi cerita sesuai imajinasi kita. Permainan sederhana ini terbukti melatih keuletan, kecermatan, kecepatan, ketelitian, dan strategi untuk memecahkan masalah untuk mencapai tujuan. Penambahan cerita dan perlombaan mengajari anak untuk menjadikan pemecahan sebuah masalah sebagai tantangan yang menyenangkan.

Dalam dunia anak-anak bermain merupakan hal yang serius. Maka sebagai orang tua sudah semestinya kita menjadikan setiap proses pembelajaran dalam bentuk permainan yang menyenangkan untuk anak-anak.

Referensi :   Dahsyatnya Hipnoparenting, Agus sutiyono.
                     Ajarkan anak keterampilan hidup sejak dini, Euis Sunarti, rulli Purwanti.



----------------------------------------------

Tulisan ini diikutkan dalam lomba blog "Peran ibu untuk si pemimpin kecil"

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -