Posted by : Sara Amijaya Friday 14 June 2013

“Aku gak cocok ma suamiku dan keluarganya, terbersit ingin pisah…tapi berat rasanya kalu ingat anak-anak….”  Sms itu kuterima dari salah seorang sahabatku pada tahun ke-6 pernikahannya.

“Mungkin cinta itu udah gak ada mba, aku bosan selalu dicuekin. Masku sekarang berubah…..” sms lain yang kuterima dari salah satu adik tingkatku semasa kuliah.

“Aku selingkuh sya, suamiku gak mau ceraikan aku sih….” Message lain yang kuterima dari kawan semasa kuliahku.

gambar dari sini
Ada apa sih dengan dunia pikirku , saat dalam waktu berdekatan curhat-curhat serupa bergantian memenuhi inbox messageku. Bagaimanapun aku sudah tak asing mendengar kasus perceraian, atau perselisihan dalam rumah tangga. Bekerja di kementerian Agama meski di bagian keuangan tidak membuatku menutup mata terhadap tingginya tingkat perceraian di daerahku. Rasanya menjadi wajar jika terbetik rasa khawatir di benakku, akan bagaimanakah rumah tanggaku sendiri.

7 tahun menikah, bukan waktu yang singkat tapi juga belum bisa dibilang lama. Aku menikah diusia yang belum genap 22 tahun. Jangan tanya bagaimana sifat dan karakterku. Yang jelas masih sangat kekanak-kanakan. Jadi sepantasnya aku memilih suami yang terpaut usia cukup jauh dariku (hampir 5 tahun). Bisa dipastikan berapa banyak perbedaan sifat dan cara pandang kami. Dan ditengah semua perbedaan itu dalam rentang sejak awal mengenalnya hingga kini 7 tahun bersamanya, kurasa tak banyak yang berubah dari kami.

Aku tak akan menyangkal bahwa pernikahanku bukannya “no cry, no pain” tapi aku bisa menggambarkannya dalam satu kata singkat dan jelas “Bahagia”.

Teman-teman yang memilih curhat kepadaku menyebutkan bahwa dalam pandangan mereka aku adalah sosok istri sholehah nan baik budi. Saat aku menceritakannya pada suamiku, aku terpaksa mencubitnya kuat-kuat agar tawanya mereda.

 Ya, sebenarnya aku bukan sosok istri sholehah nan baik budi seperti yang dikira teman-temanku itu. Aku hanya wanita biasa, istri biasa yang penuh dengan kekurangan. Aku istri yang masih sering memanyunkan bibirku saat aku tak suka atau tak setuju dengan pendapat suamiku. Aku istri yang super duper manja yang sedikit-sedikit masih sering berteriak “abaaang….” hingga terkadang menjadi olok-olokan putri pertamaku. Aku juga istri yang mudah menangis jika suamiku berbicara keras sedikit saja, padahal entah berapa sering aku berteriak-teriak pada suamiku itu.

Jadi jika kalian penasaran mengapa dalam rentang 7 tahun ini rumah tanggaku terbilang aman-aman saja dan terasa menyenangkan. Seharusnya kalian menanyakannya pada suamiku. Entah bagaimana dia bisa bertahan dengan semua sikap menyebalkanku sebagi istrinya ^_^. Dan itulah yang aku sering tanyakan padanya.

Menurut suamiku, pernikahan itu tidak menuntut pribadimu untuk menjadi orang lain. Pernikahan hanya mengubah statusmu menjadi seorang istri dan kemudian ibu. Selama kamu sudah bersikap sepantasnya dalam statusmu sebagai seorang istri dan ibu, itu cukup. Dan karena aku sendiri tak pernah menuntut suamiku untuk menjadi apa atau bagaimana, menjadi lebih mudah bagi suamiku untuk juga menerimaku apa adanya.

Dalam banyak kasus, kita mahfum seorang pria yang diawal-awal mendekati wanita yang disukainya cenderung bersikap manis dan menjadi apa yang diharapkan si wanita. Demikian pula sebaliknya. Dan setelah menikah mungkin masing-masing pihak baru menyadari sifat dan karakter asli pasangannya.

Dalam kasusku, mungkin karena sejak awal mengenal sebagai rekan seorganisasi dan pasca menikah, kami selalu menjadi diri kami sendiri. Maka tak pernah ada ekspektasi berlebih terhadap pasangan. Yang ada proses hidup bersama selama 7 tahun ini membuat kami bisa saling menerima satu sama lain dengan segala keapa-adaan diri kami sendiri.

Berbeda pendapat? Pasti seringlah. Sebagai istri aku paham satu hal, apapun keputusan suamiku, dikompromikannya atau tidak denganku itu adalah mutlak haknya. Penerimaanku akan hal tersebut membuat suamiku justru bersikap terbuka, mengajakku berdiskusi untuk setiap hal, dan mendengarkan pendapatku sebelum memutuskan suatu hal. Untuk hal-hal yang tidak kusetujui meski aku memanyunkan bibirku, suamiku tau bahwa aku pasti menerima keputusannya. Toh, selama ini setiap hal yang diputuskan suamiku belum pernah terbukti menyengsarakan kami ^-^.

Ketimbang romantis, suamiku itu sebenarnya konyol. Setiap jalan bersama dia memang selalu menggandeng tanganku, tapi itupun sambil mengkitik-kitik telapak tanganku. Jika sedang sedih atau ngambek, suamiku tak akan merayuku dengan kata-kata manis. Ia justru akan bersekongkol dengan anak-anak kami untuk kemudian mengolok-olokku, membuat tingkah lucu, atau bahkan menggelitikiku beramai-ramai sampai aku terpaksa berteriak-teriak dan mau tak mau ikut tertawa bersama mereka.

Satu hal yang kami sepakati Cinta dalam pernikahan itu adalah sebuah perasaan yang terus berkembang. Dari sekedar rasa suka, cinta yang menggebu-gebu dan seiring perjalanan waktu akan menjadi cinta yang dewasa dan bertanggung jawab.


Hal-hal kecil yang selalu kami kerjakan bersama-sama. Melibatkan anak-anak dalam setiap aktivitas kami. Mengobrol ringan sebelum tidur. Bergandengan tangan, menonton bersama, mendiskusikan segala hal, saling meledek, tertawa bersama, saling mendiamkan beberapa saat, dan lain-lain. Pada dasarnya semua itu adalah cara kami untuk terus menyemai cinta dalam pernikahan kami dan mewujudkan samara yang kami cita-citakan.

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -