Posted by : Sara Amijaya Wednesday 8 May 2013




Memiliki dua putri  dengan bakat asma sedari bayi membuatku mau tak mau harus sadar medis. Setiap berpindah domisili,  maka hal pertama yang kami cari adalah tempat pelayanan kesehatan, alamat praktek dokter, dan apotik.

Sewaktu tinggal di Palembang, yang notabene merupakan kota besar, jelas kami tak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Termasuk mendapatkan pelayanan   dan  obat-obatan kelas satuatau obat paten, paling tidak begitulah pikirku saat itu.

Terbiasa mendapat pelayanan kesehatan di dokter praktek, dan sama sekali buta dengan jenis obat-obatan aku terbiasa langsung menebus saja resep yang diberikan. Bahkan meski dengan nominal ratusan ribu rupiah.

gambar dari sini
Ketika pindah domisili ke daerah kecamatan di Kalimantan Timur dua tahun lalu, aku terserang kepanikan. Seperti biasa hal pertama yang kami cari lagi-lagi adalah pusat pelayanan. Dan miris sekali di daerah ini belum ada dokter spesialis anak. Dan apa yang aku khawatirkan saat itu benar-benar terjadi. Perubahan cuaca yang ekstrim membuat kedua buah hatiku tidak tahan dan memicu kumatnya asma mereka.

Satu-satunya pilihan saat itu adalah mendatangi Puskesmas. Karena memang tidak ada dokter spesialis anak, maka  yang menangani mereka adalah dokter umum. Syukurnya dokter tersebut punya senyum berkharisma yang mampu menenangkan segala kepanikanku. 

Dan begitulah saat dokter tersebut meresepkan obat aku menerimanya dan bersiap menebus obat tersebut. Terbiasa membayar obat ratusan ribu untuk penyakit yang sama, kali ini aku benar-benar terkejut. Bagaimana tidak obat yang diresepkan dokter tadi ternyata gratis..tis…tis. Tak bayar sepeserpun. 

Dengan apatis aku menerima obat tersebut dan bertanya “ Ini gratis???? Obat apa????”. Sang  apoteker tersenyum dan mengamatiku agak lama.

“Mba, orang baru  ya disini?” Masih tak mengerti aku mengangguk. Dan akhirnya ia menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan di Puskesmas dan RS Pemerintah di daerah ini memang gratis, ditanggung pemerintah daerah begitu ujarnya.

Masih tak yakin aku bertanya lagi “Obat ini manjur gak?”. Bagaimana ya obat-obatan itu dikemas dengan sangat biasa, dan jika melihat penampakannya rasanya memang meragukan deh.

Apoteker tersebut tertawa lebar “Ini obat generik bu”.

“Mmm…maaf, Obat  generik itu bukannya obat kelas dua ya? Anak saya biasa minum obat bermerk ,kalu minum  obat ini ngefek gak?” tanyaku dengan polos dan mungkin sedikit terkesan kurang ajar. Syukurnya apoteker tersebut baik hati, ramah dan suka menjelaskan.

Dari beliau aku mendapat informasi lengkap. Obat generik berlogo” (OGB), umumnya disebut obat generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya. Sedangkan Obat generik bermerk, umumnya disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

 “Misalnya obat ini bu, obat generik berlogo-nya ya Ambroxol, nama sesuai zat berkhasiatnya. Tapi diluaran ibu bisa menemukan obat dengan zat berkhasiat yang sama dengan merk beragam sesuai perusahaan farmasi yang memproduksinya. Misalnya Ambril, Brommer 30, Bronchopront, Broncozol, Broxal, Epexol, dll. Nah itu yang disebut Obat generik bermerk” jelasnya panjang lebar.

“Kalu obat paten?”

“Pada dasarnya zat berkhasiatnya sama bu. Obat paten biasanya diproduksi terbatas oleh perusahaan farmasi yang menemukan obat terkait. Saat Masa patennya habis obat paten tersebut boleh diproduksi masal oleh perusahaan farmasi lainnya. Saat itulah obat paten tersebut menjadi obat generik. Baik itu obat generik Berlogo ataupun Obat generik bermerk. Jadi jangan khawatir khasiatnya berbeda atau kualitasnya dibawah obat paten atau obat bermerk karena Pada intinya ya zat berkhasiatnya tetap sama”

“Trus kenapa harganya bisa sangat jauh berbeda? Bahkan disini justru digratiskan?” Aku sudah mengerti hanya masih penasaran, mumpung ada yang menjelaskan ya lebih baik bertanya detil toh.

Masih tersenyum apoteker tersebut menjelaskan lagi “ Ya wajar lebih mahal bu, lebih 50% biaya yang dibebankan pada obat paten dan obat bermerk itu adalah biaya non produksi. Ya seperti biaya untuk kemasan, biaya promosi, dll. Sementara Obat generik Berlogo itu bu diluncurkan oleh Pemerintah tahun 1991. Jadi harganya pun ditetapkan oleh pemerintah agar tetap bisa terjangkau oleh semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat menengah ke bawah. Sementara obat bermerk apalagi obat paten penetapan harganya diserahkan pada mekanisme pasar dan kebijakan masing-masing perusahaan farmasi yang memproduksinya”

Aku manggut-manggut, dan merasa cukup puas dengan penjelasan panjang lebar apoteker tersebut “Berarti obat generik berlogo itu bukan obat kelas dua ya…”.

Gambar dari sini
“Iya bu, dan satu lagi bu hak pasien loh meminta ingin diresepkan obat generik atau obat bermerk. Kalu khasiatnya sama dengan harga yang lebih murah bukannya lebih menguntungkan bu?” Apoteker ramah itu setengah tertawa saat mengucapkan hal tersebut.

Dan jelas aku sepakat dengan pernyataan apoteker tersebut, terlebih setelah aku meyakini bahwa obat generik berlogo itu sama sekali bukan obat kelas dua apalagi obat kelas tiga.

Seandainya setiap pusat pelayanan kesehatan dan juga paramedisnya berkomitmen untuk meresepkan dan memberi penjelasan mengenai obat generik berlogo seperti yang baru saja aku ceritakan di daerahku, aku yakin penggunaan dan animo masyarakat akan obat generik berlogo akan meningkat. Dan tentu saja pernyataan akan biaya berobat yang mahal nian di negara kita ini bisa segera dihapuskan.

Oh ya, saat aku menceritakannya pada suamiku, Ia jelas sepakat dan sedikit mengingatkanku “Mau generik, mau paten, mau bermerk…..obat itu Cuma ikhtiar kita sebagai manusia. Yang mutlak memberikan kesembuhan itu cuman Allah dek…..”.

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -