Posted by : Sara Amijaya Tuesday 11 September 2012



“Kebaikan itu ibarat sebuah lingkaran. Jika kita memulai sebuah lingkaran dari suatu titik maka ujung dari lingkaran itu adalah titik awalnya. Demikian pula dengan kebaikan jika kita memulai sebuah kebaikan, maka ujung dari kebaikan itu akan kembali pada diri kita sendiri”.
Sejak awal pernikahan, aku dapati suamiku adalah seorang pria sholeh yang sangat pemurah. Dalam kondisi berkecukupan maupun kekurangan ia selalu siap sedia menolong orang-orang  yang membutuhkan. Ia tak segan-segan meminjamkan uang kepada orang-orang yang memerlukan tanpa harus mengembalikannya. Terkadang, ia meminjamkan modal pada teman-temannya yang akan memulai usaha, jika tidak bisa membantu dalam hal keuangan maka ia akan membantu mereka dengan tenaganya. 
Terkadang yang dilakukannya hanyalah hal-hal remeh temeh yang seringkali kuanggap tak bernilai seperti menyingkirkan kayu di jalan, merawat tanaman yang sudah layu, atau sekedar membagi senyuman pada orang-orang yang ditemuinya di jalanan. 
powered by google

Meski tak pernah terucap tanya dari bibirku, seolah paham suamiku menjelaskan.  “Bisa melakukan kebaikan itu juga salah satu rezeki. Ada masanya kita ingin membantu orang lain tapi kita tak menemukan orang yang akan kita bantu. Atau ada orang yang meminta bantuan tapi kita sedang tidak bisa membantunya. Jadi, selagi ada kesempatan membantu orang lain lakukanlah. Insyaallah akan ada balasannya, jika tidak di dunia maka jadilah itu sebagai tabungan kita di akhirat.” 
 Adapun sisi lain dari suamiku yang pemurah adalah bahwa ia juga sosok yang pembosan. Syukurlah hingga detik ini ia belum menunjukkan tanda-tanda kebosanan terhadap aku, istrinya. Sifat bosannya lebih pada urusan pekerjaan. Maka jadilah ia sosok yang resignholic. Setiap kariernya mulai menanjak ia akan dengan segera mengajukan surat resign. Dan untuk sementara ia akan sibuk dengan impiannya menjadi seorang wiraswasta yang sukses. Meski takdir masih menuntunnya menjadi pegawai hingga berkali-kali, hal itu tetaplah tidak menyurutkan impiannya untuk menjadi pure pebisnis, bos atas dirinya sendiri. Jadi, jangan tanyakan berapa kali ia telah mengajukan resign.
Sebagai seorang istri, maka kewajibankulah untuk terus mendampinginya seberat apapun pilihan yang telah dijatuhkan oleh suamiku. Bukannya tak pernah protes, aku justru kerap menumpahkan ketidakmengertianku atas pilihannya yang seolah anti kemapanan. Namun, pembicaraan itu akan terus berlanjut dengan riak-riak pertengkaran yang sama sekali tidak aku sukai. Seiring waktu aku mulai belajar menerima semua kekurangan dan kelebihan suami tercintaku. Meski perjalanan untuk bisa lebih mengenal dan saling mengerti itu tidaklah melulu manis, aku merasa bangga tatkala bisa memaknainya sebagai the reviving moments.

Ada sebuah masa, ketika suamiku mulai merintis sebuah usaha sendiri. Proyek dengan nilai ratusan juta bahkan sudah mulai dikerjakannya. Namun, karena satu dan lain hal suamiku memutuskan melepas perusahaan tersebut dan menyerahkan lanjutan proyek yang dikerjakannya pada rekan kongsinya selama ini. Saat itu suamiku mengajakku hijrah ke kota lain untuk memulai hidup baru. Sekali lagi aku merasa diuji. Dengan seorang putri yang kami miliki saat itu, aku sungguh menyesalkan banyak hal yang menjadi keputusan suamiku. Keputusannya untuk resign padahal kesempatan menjadi Officer di sebuah Bank terkenal sudah menantinya. Aku juga menyesalkan keputusannya saat memilih melepas proyek yang sudah didapatkannya. Namun suamiku hanya berkata “Aku mampu memberikanmu rumah mewah ataupun mobil mewah dari apa yang sudah kulepaskan, tapi aku takut jika sedikit saja harta haram mengalir di tubuhmu ataupun buah hati kita, bahkan jika itu sekedar keraguanku semata”. Dan, jika ia membenturkanku pada masalah yang terkait halal haram aku sungguh tak bisa protes, selain mendukungnya dan melewati semua yang akan terjadi kemudian.
Sebuah hal yang begitu mengharukan dan sama sekali tidak pernah kuduga terjadi di hari kepergian kami dari kota tersebut. Subhanallah…. teman-teman yang dulu pernah dibantu suamiku berkumpul dan beramai-ramai mengantar keberangkatan kami. Mereka juga bergantian memeluk suamiku sambil membisikkan doa dan kata-kata penyemangat…..”insyaallah kita akan bertemu lagi” begitu kata mereka.
“Kau lihat dek, meski tak berupa materi  hangatnya persaudaraan itu memberikan kekuatan dalam setiap langkah…” suamiku tersenyum dan perjalanan panjang kami saat itu terasa ringan dan menyenangkan. Bahkan kami masih bisa bercanda di sepanjang perjalanan, meski kami tak tahu setebal apa kabut masa depan yang menghadang kami.
Di tempat baru, tentu kehidupan kami tak senyaman saat-saat dulu. Ada masa-masa jatuh bangun yang menguras air mata, dimana para kerabat dekat tidak memberikan bantuan sama sekali, meski kamipun tak mengharap uluran tangan mereka. Terlebih ketika mereka justru mencemooh setiap hal yang kami usahakan.
Sungguh, aku rindu teman-teman di tempat lama. Meski tak ada hubungan darah dan di kelilingi kehidupan yang sederhana,  mereka begitu pandai mensyukuri setiap nikmat yang mereka terima. Mereka begitu bersabar atas setiap kesulitan yang menimpa.
 Hal ini sungguh berbeda jauh dengan keadaan kami saat ini. Kami berada di tengah-tengah keluarga, tapi tanpa rasa kekeluargaan. Kehidupan mereka yang berkecukupan membuat mereka menilai seseorang berdasarkan materi yang mereka miliki. Dan bagi mereka kami hanyalah sekelompok orang yang telah gagal. 
Saat aku membagi kesedihan pada suamiku, ia membawaku berkeliling dan masih tetap tersenyum suamiku berkata “jangan melihat ke atas dek, tapi lihatlah ke bawah…”. Ia menunjuk sekolompok anak-anak yang sedang bergelung di bawah jembatan, dengan baju lusuh dan robek-robek. “Dibanding mereka kita masih jauh lebih beruntung, kita masih bisa makan 3 kali sehari, punya tempat bernaung yang layak, dan punya bidadari kecil yang menyejukkan mata kita tatkala letih menyapa”.
 Sungguh, aku tersentuh melihat pemandangan di bawah sana. Kupeluk erat buah hatiku, Ya Allah…ampuni aku yang telah berkeluh kesah di tengah semua nikmat yang masih Engkau anugerahkan.
Di masa-masa itu silih berganti mereka, orang-orang yang pernah dibantu suamiku bergantian menelepon, dari yang sekedar menanyakan kabar, berbagi cerita, dan saling menguatkan bahkan yang mengejutkanku beberapa dari mereka yang telah berhasil dengan usahanya mentransfer uang ke rekening suamiku. Ketika suamiku berkeras menolaknya mereka berkata “ Jangan membuat kami kehilangan kesempatan untuk membalas kebaikanmu, kami tau engkau dulu ikhlas membantu kami tapi anggaplah ini sebagai pembayar utang kami yang dulu”.
Subhanallah…Maha suci Allah. Sungguh kebaikan yang kita perbuat akan kembali kepada kita dalam keadaan yang tak pernah kita sangka-sangka  Lebih dari sekedar materi, bagiku dan juga suami kebaikan yang tak seberapa ternyata mempertemukan dan  mengumpulkan kami dengan saudara-saudara seiman yang begitu berharga.
Hari-hari yang sulitpun tak lagi terasa berat, aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku. Terlebih Allah tak pernah meninggalkan kami. Selang beberapa waktu usaha kami mulai berkembang dan suamiku lagi-lagi mendapat panggilan kerja dengan posisi baik di salah satu Islamic Bank di Indonesia. 
Kerabat yang dulu menjauh dan mencemooh kini kembali bermanis muka dan datang memuji-muji. “Sekarang kau tau dek, yang mana teman sejati dan yang mana sekedar teman? Keluarga itu bukan seberapa kentalnya hubungan darah, tapi keluarga adalah mereka yang menopangmu saat suka maupun duka” suamiku berkata sambil tersenyum. Tentu sekarang aku paham kata-kata suamiku, sama seperti kata-kata yang dulu diucapkannya saat kami akan meninggalkan kota kami yang lama.
Kini, 6 tahun lebih kami bersama. Allah telah menganugerahi kami 2 bidadari penyejuk mata. Sifat dan sikap suamiku masih sama seperti dulu, bahkan beberapa waktu lagi ia akan segera resign kembali dari tempat bekerjanya selama 2 tahun belakangan ini. Sekali lagi aku mencoba bernegosiasi, namun suamiku masihlah sosok yang dulu dengan setiap detil idealismenya yang terkadang mudah diucapkan namun terasa berat dilaksanakan bila tanpa keikhlasan. 
Sampai detik inipun, aku masih terus berusaha berdamai dengan hatiku sendiri. Mendukung sepenuh hati pilihan seorang suami yang terkadang tak sejalan dengan keinginan hati bukanlah sebuah perkara mudah. Namun sekali lagi aku memaknainya sebagai the reviving moments.Sedikit banyak pemaknaan tersebut membuatku bisa tersenyum lebih manis. Aku merasa jauh lebih siap menjalani apapun surat takdir yang membentang di hadapanku. Sebuah keyakinan mulai tumbuh di hatiku, keimanan membuat kita mampu menjalani setiap hal dengan tanpa keluh.
Yang pasti perjalanan biduk rumah tanggaku hingga hari ini memberi banyak ibrah bagiku dan juga suami. Mendewasakan cara berpikir kami, dan membuat kami lebih menghargai arti sebuah kebaikan seberapa kecilpun kebaikan itu. 

Apapun dan bagaimanapun kisah hidupku terjalin, hatiku meyakini bahwa setiap detik kehidupan kita selalu membawa hikmah, dan tatkala kesyukuran telah meniti setiap nadi kita, maka percayalah apapun itu adalah hal terbaik yang telah ditetapkan Allah untuk hamba-hamba-NYa yang beriman.

Let's move on friends......!!!!
Ya Allah…berkahilah keluarga kecilku, eratkan cinta di hati kami dan jadikanlah kami hamba-hambamu yang saling mencintai semata-mata karena kecintaan kami terhadapMu
Ya Allah…kumpulkanlah kami dalam kebaikan yang berlipat-lipat dan jadikanlah kami hamba-hambaMu yang pandai bersyukur atas setiap nikmatMu…
Aamiin…Allahumma aamiin.
********
  “Tulisan ini diikutsertakan pada Monilando’s First Giveaway

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -