Posted by : Sara Amijaya Thursday 15 September 2011

Ibuku adalah sosok luar biasa yang takkan bisa tergantikan. Semenjak kecilku menyaksikan beratnya perjuangan beliau hidup ditengah-tengah keluarga ayahku, “suaminya”, menyesuaikan gaya hidup, budaya, bahkan tingkah lakunya. Beliaulah  yang mengurus ke 5 adik ayahku dan juga orangtuanya, melayani mereka, memasak, mencuci, dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya, di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai seorang guru. Memang ibuku adalah seorang anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara lainnya, jadi seberat apapun hidup di keluarga tersebut ibuku masih bisa untuk selalu tersenyum karena baginya “itulah keluargaku”. 

Ada waktu dimana aku sering melihat beliau menangis, dan aku merasa marah kenapa ibu mau diperlakukan seperti itu, ibukan bukan pembantu tapi menantu harusnya diperlakukan dengan layak.
Apalagi setelah adik-adik ayahku sudah berkeluarga, kupikir sudah seharusnya beban sebagai menantu juga di bagi rata tapi ternyata tidak, meski sudah tinggal di rumah sendiri ibuku tetap lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melayani orangtua ayahku dengan semua kemauan egois khas orang tua.

Mendengar protesku ibu hanya tersenyum, “Laa taghdob…..! Laa taghdob…..! Laa taghdob…..! sayangku…
Janganlah marah! karna amarah itu seperti api, apapun yang dilaluinya akan menjadi arang…..,Dengan Mengalah tak berarti kita kalah, kadangkala hanya dengan mengalahlah kita bisa menemukan kemenangan sejati”  Huff…aku tetap belum bisa menerima hal itu…..

Ketika waktunya tiba, aku pun menikah dengan seorang pria dari suku dan daerah  berbeda. Sebelum memiliki rumah sendiri,ada masa 2 tahun yang kuhabiskan bersama keluarga suamiku,  olala…..serasa pengalaman ibuku terulang padaku. Apa semua mertua seperti ini pikirku??? Menguji menantu begitu?? ckckck…untungnya aku begitu meresapi kisah ibuku dan meneladani ketegarannya. Hanya saja tentu aku tak sesabar ibuku yang begitu polos dan lugu apalagi ketika menghadapi adik-adik suamiku yang “keterlaluan”, tak jarang terjadi beberapa gesekan yang bisa memicu keretakan hubungan keluarga, untunglah sedikit sikap ibuku menurun padaku sehingga aku terbiasa menahan amarah dan berusaha mengalah agar permasalahan tak jadi membesar. Dalam kerasnya “gemblengan” mertuaku, akhirnya aku mengerti, bisa jadi menantu yang digembleng begitu keras justru merupakan menantu kesayangan (paling tidak begitulah pikirku untuk menyenangkan hati) sama halnya dengan ibuku dulu bahkan sampai saat ini.

Akhirnya aku pulang ke kampung halaman, menengok ibuku. Beliau masih seperti dulu, disibukkan dengan kemauan ini-itu kakek nenekku yang semakin uzur dan tentu dengan kemauan yang semakin khas dengan keuzuran mereka. Aku tersentuh…..demikian putih hati ibu, banyak hal-hal yang jika akulah yang menghadapinya tentu telah meledak marah, paling tidak bersungut kesal. tapi ibuku hanya diam dan masih bisa tersenyum. “mungkin kelak ibu juga begitu…” ujarnya. “Ibu hanya berharap dengan sedikit kebaikan ibu ini , kelak ibu uzur mendapat perlakuan yang baik dari anak-anak ibu”. Duhai ibu…aku belum mampu membahagiakanmu, sungguh kata-katamu membuatku terenyuh dan meneteskan air mata. Tentu ibu…..bagi Ibu seputih dirimu kami akan berusaha membahagiakanmu meski tak seberapa dengan semua jerih payahmu…
Tentu  ibu…..bagi ibu sebaik dirimu kami akan berusaha menjagamu meski tak sebanding dengan semua kasih sayangmu…

Sungguh Aku mencintaimu ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku.


Picture by google

- Copyright © Sara's Talk - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -